Ariesta Dwi Cahyani

Ariesta Dwi Cahyani

Head of Section for Developing Eight (D-8) Kementrian Luar Negeri

SDM Kompetitif Berdaya Saing Global
Ariestya Dwi Cahyani, Alumni Marketing Communication batch VI ini telah berhasil merealisasikan mimpinya untuk menjadi bagian dari Kementrian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia. Bagaimana wanita yang akrab dipanggil Tya ini bisa meraih mimpinya menjadi salah satu bagian dari Kemlu? Dan bagaimana kesehariannya dulu sebagai mahasiswa LSPR? Berikut penuturan Tya:

Masa kuliahku..
Pengalaman bekerja telah kumiliki sejak berada dibangku kuliah. Tidak dipungkiri, pengalaman-pengalaman tersebut memiliki peran yang cukup besar bagiku untuk terus memacu kedisiplinan dalam membagi waktu dan pekerjaan. Apalagi, selain menuntut ilmu di LSPR, aku juga berkuliah di Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya secara bersamaan. Hingga masih teringat di benakku, bagaimana aku harus menyesuaikan waktu kuliah antara LSPR dan UI, berkejaran dengan jadwal KRL ke Depok dan juga berjualan sandwich yang aku titipkan di kantin kampus C yang saat itu masih terletak di Komplek Bimantara (sekarang MNC). Meski harus mengorbankan waktu untuk bersantai dan hang out bersama para sahabat, aku tidak pernah merasa menyesal atas pilihan yang ku ambil saat itu. Ada penilaian tersendiri ketika aku memilih LSPR sebagai tempatku melanjutkan pendidikan. Aku merasa LSPR sebagai salah satu tempat belajar yang mumpuni di bidang ilmu komunikasi. Kurikulumnya tidak melulu mengenai teori, namun juga praktik dimana mahasiswa memperoleh pengalaman belajar secara langsung dari pakarnya. Saat ini bidang pekerjaan yang kugeluti adalah komunikasi politik, diplomasi, dan hubungan antar negara.

Menjadi Pegawai Kemlu
Setelah dinyatakan lulus dalam sidang, aku tak langsung menjadi pegawai Kemlu. Beberapa profesi telah kujalani terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai pegawai paruh waktu di sebuah kantor research & marketing dan juga editor sebuah perusahaan media cetak yang berfokus di bidang lifestyle. Namun ketertarikanku terhadap isu-isu internasional, beragam kebijakan pemerintah Indonesia dan juga dampaknya di tingkat nasional-lah yang membawaku bekerja di Kemlu.

Ternyata untuk menjadi bagian dari Kemlu tidaklah mudah. Aku harus melewati ujian masuk CPNS Kemlu yang telah dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu seleksi administratif, pengetahuan umum, penguasaan bahasa asing, psikotes, ujian panel dan wawancara, serta tes kesehatan. Saat itu aku harus bersaing dengan 30.000 peserta dari seluruh Indonesia sebelum akhirnya 120 peserta terpilih lainnya.

Sejak tahun 2009, namaku tercatat sebagai salah satu abdi Negara di Kementrian Luar Negeri. Kini setelah lima tahun berlalu, aku dipercaya untuk menjabat sebagai Head of Section for Developing Eight (D-8) yang menangani isu kerja sama antara Indonesia dan organisasi internasional Developing Eight (D-8) yang anggotanya adalah Bangladesh, Indonesia, Iran, Malaysia, Mesir, Nigeria, Pakistan, dan Turki. Sebagai fokus utama, kelompok D-8 ini didirikan untuk memperkuat hubungan perdagangan di antara ke-8 negara dengan harapan dapat membuka akses dan menjadi pelaku pasar baru sebagai alternatif dalam skala global. Terkait pelaksanaan tugas dan fungsi, selaku koordinator nasional, Kemlu senantiasa bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dalam mewujudkan tujuan organisasi dibidang perekonomian.

ASEAN Economy Community (AEC)
Berbicara tentang AEC, kita pahami konsep Komunitas ASEAN 2015 yang terdiri dari 3 pilar, yaitu Komunitas Politik-Keamanan, Komunitas Ekonomi, dan Komunitas Sosial Budaya. Dari ketiga pilar tersebut, AEC yang dampaknya secara langsung dirasakan masyarakat. AEC merupakan sebuah komunitas yang dibentuk dengan tujuan untuk membangun wilayah ekonomi ASEAN yang stabil dan berdaya saing tinggi dimana terdapat kebebasan lalu lintas barang, jasa, investasi, dan modal. Hal ini dilakukan dalam rangka menciptakan kondisi perekonomian yang setara, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial dengan membentuk pasar tunggal yang berbasis produksi pada tahun 2015. Guna mewujudkan AEC yang sukses, ASEAN telah berevolusi dari state oriented menjadi people oriented karena keberhasilan membangun sebuah komunitas dibutuhkan keterlibatan semua pihak termasuk masyarakatnya (sumber daya manusia).

Tantangan AEC bagi Indonesia adalah globalisasi yang sudah di depan mata. Dari sisi domestik (dalam negeri), rasio penduduk usia produktif diperkirakan mencapai 50% dari total penduduk yang berarti jumlah pencari kerja meningkat dari jumlah saat ini. Untuk itu, kapasitas perekonomian dituntut untuk dapat menyediakan lapangan kerja yang layak. Dari sisi kawasan (AEC), persaingan SDM anta negara akan semakin kompetitif. Kata kunci dalam memasuki AEC ialah menyiapkan SDM yang berdaya saing tinggi. Pelajar dan mahasiswa perlu mempersiapkan diri dengan cara mengembangkan potensi diri. Disamping itu, masyarakat khususnya pemuda dan pemudi harapan bangsa seyogianya memiliki beberapa karakteristik, seperti speed & creativity, agility & flexibility, persistence & perseverance, serta teamwork & cooperation. Karena mobilitas dan dinamika Komunitas ASEAN dinilai tinggi, SDM Indonesia dituntut untuk mandiri, memiliki kemampuan dan keahlian yang spesifik, juga kreatif dalam menciptakan peluang-peluang baru.

Indonesia memainkan sebuah peran penting sebagai satu-satunya negara ASEAN di forum G 20 dan memiliki posisi strategis sebagai “penyambung” kepentingan kedua organisasi tersebut. Menurutku, strategi Indonesia menghadapi globalisasi dalam kerangka AEC, antara lain mengamankan pasar domestik, memperkuat daya saing ekonomi ke taraf global, dan meningkatkan nilai ekspor. Dengan bargaining power yang dimiliki Indonesia di ASEAN, diharapkan negara ini dapat menjadi pelopor dan penggerak utama untuk penguatan ekonomi ASEAN. (Intan & Irene)