Menilik persyaratannya, untuk menjadi “anak” Wae Rebo sebetulnya tidak sulit. Desa kecil ini ibarat tangan terbuka, selalu menyambut para pengunjungnya sebagai anak-anak Wae Rebo yang baru kembali dari tanah rantau.
Syaratnya hanya satu, restu dari leluhur yang didapatkan dengan mengikuti upacara penghormatan leluhur atau disebut Waelu’u selama lima hingga sepuluh menit di salah satu rumah Mbaru Niang bernama Niang Gendang. Dalam upacara tersebut tetua adat akan memintakan restu leluhur dan mendoakan setiap pengunjung dalam bahasa setempat. Selepas upacara, persis ketika keluar dari Niang Gendang, kita sudah menjadi “anak” Wae Rebo. Walaupun terkesan sederhana, upacara penerimaan ini begitu penting dan wajib.
Untuk menjadi “anak” Wae Rebo yang sesungguhnya, mengenal sejarah desa ini menjadi suatu keharusan. Dalam buku “Pesan Dari Wae Rebo” oleh Yori Antar, dikisahkan bahwa penduduk Wae Rebo adalah keturunan Empo Maro, pelaut asal Minangkabau yang berlayar bersama keluarganya hingga ke pulau Flores dan menetap di berbagai desa di Manggarai. Setelah lama berpindah-pindah karena berbagai sebab –salah satunya mengikuti arahan rubah, Empo Maro akhirnya mendapat ilham untuk pindah ke sebuah wilayah di timur, menetap di desa tersebut dan memberi nama “Wae Rebo”. Seperti leluhurnya, penduduk Wae Rebo keturunan Empo Maro ini dipercaya sebagai orang-orang yang ahli berkebun dan berburu. Terbukti bahwa berkebun adalah mata pencaharian utama penduduk Wae Rebo dengan menghasilkan kopi, jeruk, sirih, markisa, jahe, dan temulawak. Sedangkan para wanitanya menenun kain Cura.
Saya lalu mencoba sudut pandang berbeda yaitu dengan mengamati anak-anak Wae Rebo yang begitu asyik bermain di alam terbuka, spontan membuat saya gembira karena teringat adegan-adegan film Laskar Pelangi. Namun segala keseruan berakhir ketika hari sudah gelap, ketika semua harus masuk rumah sebab keluar di malam hari tanpa penerangan bisa beresiko bahaya. Bagi anak-anak Wae Rebo masa kecil ialah suatu tempo kehidupan yang singkat, sesingkat pagi berganti malam. Menginjak usia sekolah, anak-anak ini harus merantau ke desa tetangga atas tuntutan literasi dan pendidikan. Sekolah Dasar paling dekat terletak tiga jam berjalan kaki turun gunung ditambah empat jam untuk kembali naik. Melanjutkan ke sekolah menengah berarti harus merantau lebih jauh lagi, kalau perlu sampai ke Ruteng.
Photo & Text : Nur Fadilah